Senin, 07 November 2011

Studi Kasus Iklan So Nice So Good

17 MARET 2010
 iklan yang tayang di televisi yaitu iklan So Nice "So Good", "Fakta Bicara" oleh Badan Pengawasan Periklanan, Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) diputuskan melanggar Etika Pariwara Indonesia (EPI).

Keputusan yang dikeluarkan oleh Badan Pengawasan Periklanan (BPP) PPPI telah disampaikan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat.

Pada iklan TV So Nice "So Good", pelanggaran EPI terjadi pada pernyataan bahwa mereka yang mengkonsumsi produk yang diiklankan akan tumbuh lebih tinggi daripada yang tidak. Menurut EPI BAB IIIA No. 1.7 menyatakan bahwa: "Jika suatu iklan mencantumkan garansi atau jaminan atas mutu suatu produk, maka dasar-daasr jaminannya harus dapat dipertanggungjawabkan.

KPI Pusat juga mengingatkan kepada para pembuat iklan dan televisi bahwa dalam Pasal 49 ayat (1) Standar Program Siaran (SPS) KPI Tahun 2009 telah dinyatakan bahwa iklan wajib berpedoman kepada EPI.

Selanjutnya KPI Pusat meminta kepada semua stasiun TV untuk mematuhi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS) Tahun 2009 dan EPI. (KPI)
Diposkan oleh Dunia TV di 20:00

ULASAN ;
Indonesia tidak dapat dipungkiri merupakan pasar yang menggiurkan tidak hanya di kawasan Asia tapi juga di dunia. Jumlah penduduk negara kepulauan ini mencapai lebih dari 200 juta jiwa dan merupakan sebuah pasar yang sangat menjanjikan bagi para pelaku industri yang ingin melebarkan bisnisnya. Menjangkau sasaran pasarnya, bukanlah pekerjaan mudah bagi para pelaku bisnis ini, karena itu mereka membutuhkan para profesional yang membantu mereka untuk berkomunikasi kepada konsumen dengan menggunakan media yang tepat dan pesan yang efektif.

Di sinilah peranan industri periklanan di Indonesia yang menjembatani komunikasi antara produsen dan konsumennya. Sejalan dengan semakin besarnya dunia pemasaran, maka semakin berkembang pula industri periklanan di tanah air. Saat ini industri periklanan di Indonesia adalah salah satu yang terbesar di dunia. Hal ini disebabkan konsumen Indonesia belum mengalami kejenuhan terhadap iklan seperti halnya yang terjadi di negara lain. Industri iklan terus meroket dengan belanja iklan yang terus naik setiap tahunnya. Pada tahun 2006 saja belanja iklan Indonesia mencapai tujuh trilyun rupiah. Saat ini pemirsa Indonesia dikelilingi oleh jumlah iklan terbanyak dari yang pernah terekam dalam sejarah industri ini di Indonesia. Pemirsa TV Indonesia, sebagai contoh, menjadi sasaran 3.650.000 spot iklan TV setiap tahun, atau 10.000 spot setiap hari, atau setara dengan 42 spot setiap jam. Dengan kata lain, setiap dua menit acara ada satu menit iklan (Subramaniam, 2006: 39).

Besarnya jumlah uang yang berputar di industri iklan bagaikan manisnya gula yang terus memancing datangnya “semut-semut” baru untuk terjun di dalam industri ini. Banyak perusahaan-perusahaan iklan (advertising agency) global yang membuka kantornya di Indonesia bersama dengan ratusan perusahaan iklan lokal memperebutkan kue iklan yang sangat besar itu.

Karena besarnya jumlah uang yang di raup dalam setiap penayangan iklan, tidak sedikit pula perusahaan yang tidak memperhatikan etika dalam periklanan seperti contoh kasus iklan “ so nice so good “, dalam iklan tersebut terselip kata persuasive “akan lebih tinggi dari pada yang tidak makan sosis “untuk mempengaruhi customer mengkonsumsi product sosis mereka. Kebenaran dalam iklan berkaitan dengan fungsi informative.Hal ini menunjukkan adanya manipulasi makna karena kata–kata tersebut adalah hal yang tidak dapat dipertanggungjawabjkan dalam etika periklanan.



 Magdalena

Senin, 31 Oktober 2011

Tren Perilaku Belanja di Mal
Posted By Istijanto Oei On April 5, 2010 @ 3:43 pm In My Article
Pusat pembelanjaan atau mal banyak bertaburan di kota-kota besar, terutama di Jakarta. Mal-mal
baru terus bermunculan. Bagi konsumen atau penikmat jalan-jalan, tentu ini kabar
menggembirakan. Mereka memiliki banyak pilihan. Namun, di sisi lain, terjadi persaingan antarmal
memperebutkan pengunjung. Tak ayal, pengelola mal berkepentingan menarik pengunjung
menjejali malnya.
Bagaimana perilaku para pengunjung di mal? Ini juga perlu diketahui. Dalam rangka itu, sebuah
survei dilakukan dengan melibatkan 512 responden yang tinggal di berbagai perumahan di Jakarta
dan sekitarnya. Pengambilan sampel memakai metode cluster. Survei dilakukan sebulan penuh
pada Februari 2010 oleh Consumer Survey Indonesia (CSI).
Beberapa temuan menarik dapat dikemukakan di sini. Pertama, rata-rata frekuensi kunjungan
orang ke mal adalah 6,5 hari sekali dengan variasi wanita tiap 6,1 hari sekali dan pria 7,1 hari
sekali. Ini mengindikasikan wanita lebih doyan ke mal dan akhir pekan menjadi waktu yang pas
untuk jalan-jalan. Temuan kedua mengenai durasi di dalam mal. Hasil riset menunjukkan rata-rata
tiap orang menghabiskan 3,5 jam sekali kunjungan. Angka ini kalau dikonversikan ke satu tahun
menghasilkan lama kunjungan 197 jam. Artinya, selama setahun orang mengisi hidupnya selama
197 jam di mal.
uang yang diraup mal di Jakarta dari saku seorang
pengunjung adalah Rp 10.921.000 per tahun
Temuan berikutnya yang menarik adalah uang yang dibelanjakan. Dalam sekali kunjungan, orang
menghabiskan rata-rata Rp 194.500. Ini berarti uang yang diraup mal di Jakarta dari saku seorang
pengunjung adalah Rp 10.921.000 per tahun. Kalau angka ini dikalikan dengan jumlah
pengunjung mal, akan menghasilkan ukuran pasar yang fantastis. Jangan heran, di dalam mal
terjadi perputaran uang yang demikian besar.
Pengelola mal sendiri selalu menampilkan keunikannya supaya menjadi daya tarik pengunjung.
Demikian juga dengan keberadaan konter. Pengelola mal berkepentingan menempatkan konterkonter
yang memiliki magnet atau jangkar penarik pengunjung (anchor). Urutan 10 besar konter
yang berfungsi sebagai anchor dengan jawaban multiple response adalah pusat jajan
atau foodcourt (60%), baju atau fashion (49%), supermarket (42%), toko buku (33%), bioskop
(22%), resto atau café (20%), toserba atau department store (11%), aksesori (8%), arena
bermain atau game (8%) dan musik (7%). Di konter-konter inilah perputaran uang yang besar
terjadi.
Dari segi uang yang dibelanjakan, terdapat perbedaan mencolok dari segi usia. Mereka yang
masih di usia sekolah menghabiskan Rp 160.000 sekali kunjungan. Kelompok usia yang paling
berani membelanjakan uangnya adalah usia 36-40 tahun, yaitu sebesar Rp 337.000. Di atas usia
40 tahun, pengeluaran menurun di kisaran Rp 177.000.
Temuan berikutnya yang juga tak kalah menarik: pengunjung mal kebanyakan tidak sendirian.
Selama berkunjung ke mal, orang paling banyak pergi bersama temannya (51%), lalu dengan
keluarga (39%) dan terakhir sendirian (10%). Hasil ini mengukuhkan bahwa fungsi mal bukan lagi
sekadar tempat membeli. Mal sudah menjelma sebagai tempat bergaya, mencari hiburan,
bersantai dan bersosialisasi. Mal memang telah menjadi gaya hidup yang sulit dipisahkan dari
kaum urban dan di sini pulalah peluang bisnis dapat dikail.
Fakta Perilaku Belanja di Mal di Jakarta Tahun 2010
No. Deskripsi Fakta
1 Frekuensi kunjungan 6,5 hari sekali
2 Lama per kunjungan 3,5 jam
3 Uang yang dibelanjakan Rp 194.500/orang/kunjungan
4 Anchor foodcourt, fashion, supermarket, buku, bioskop,
resto, department store, aksesori, game, musik
Hasil riset: Consumer Survey Indonesia, 2010
*Penulis adalah Eksekutif Riset Consumer Survey Indonesia, www.istijanto.com

 ULASAN 
Menurut pendapat saya, keberadaan beberapa mall yang ada di Indonesia membuat tingkat konsumsi masyarakat Indonesia menjadi bertambah semakin setiap tahunnya.
Kondisi lingkungan memberikan refleksi tingkat produksi dan konsumsi tertentu, dimana pada akhirnya akan berimplikasi langsung terhadap kondisi penerimaan dan pengeluaran suatu bisnis. Dalam hal ini mall bukan hanya menjadi tujuan orang membeli sesuatu namun juga menjadi tempat hiburan serta gaya hidup masyarakat Indonesia.
Pembangunan mall-mall yang ada di Indonesia harus memperhatikan tanggung jawab social yang berhubungan dengan masyarakat di sekitarnya.Secara Etika Bisnis, dengan meningkatnya pembangunan mall-mall yang ada di Indonesia maka ada yang di rugikan dan ada yang diuntungkan. Pihak yang dirugikan adalah lingkungan sekitar, dengan banyaknya pembangunan mall maka banyak pula area yang seharusnya menjadi area pertamanan kota berubah fungsi menjadi area hiburan. Dan daerah resapan airpun berkurang sehingga membuat banyak kota yang sering banjir akibat tidak adanya area serapan air. Sedangkan pihak yang di untungkan sangat banyak, mulai dari pebisnis retai baju maupun supermarket yang menjadi tujuan utama orang dating dan berkunjung di mall yaitu untuk membeli atau sekedar melihat-lihat, masyarakat di sekitar mall yang mempunyai modal membuka kosan atau kontrakan sementara bagi pegawai-pegawai yang bekerja di mall tersebut.